Minggu, 30 Agustus 2009

Mencari Yang Lokal di Indonesia; GPAUI sebagai Contoh Kasus

Di abad ke-20, terjadi beberapa usaha di berbagai negara untuk mencari arsitektur bagi bangsa masing-masing. Begitu juga di Indonesia. Salah satu kasus percobaan untuk mencari ke-Indonesia-an pada karya arsitektur terjadi di pertengahan 1980. Saat itu kampus Universitas Indonesia dipindah ke Depok. Sebuah bangunan utama, Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia (GPAUI) dirancang bersama berbagai bangunan lain di kampus UI Depok.

Atas permintaan rektor UI saat itu, GPAUI harus menampilkan sifat ke-Indonesia-an. Di bawah ini adalah sebuah penuturan mengenai proyek tersebut, sebagaimana dituliskan oleh Gunawan Tjahjono, salah seorang anggota tim arsitek gedung tersebut. Tjahjono adalah perancang utama dalam tim tersebut. Penuturan via tulisan oleh Tjahjono ini didapatkan di tahun 2007, ketika saya sedang mempersiapkan sebuah pameran bersama Pusat Dokumentasi Arsitektur. Berikut adalah penuturan Tjahjono.


GEDUNG PUSAT ADMINISTRASI UNIVERSITAS INDONESIA: PANDANGAN PERANCANG UTAMANYA

Pertanyaan
Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia (GPAUI) lebih dikenal sebagai gedung Rektorat UI karena istilah itu berlaku untuk tempat rektor perguruan tinggi bekerja pada saat itu. Maka, sejak dia berdiri, istilah itu yang melekat padanya. Gedung tersebut juga oleh beberapa kalangan dianggap tak pantas sebagai bangunan tertinggi suatu kampus karena mereka yang berpendapat demikian menganggap seyogianya perpusatakaan sebagai lambang pengetahuan itu yang pantas tertinggi. Tentu pendapat siapa dan apa saja selalu boleh. Pertanyaan saya adalah, ada berapa kampus kelas dunia yang menempatkan perpusatakaannya sebagai bangunan tertingginya?[1]

Arsitek GPAUI tak menempatkan kamar kerja Rektor UI di lantai teratasnya, dia melainkan meletakkan ruang sidang Senat Guru Besar Universitas di lantai puncak. Itu karena gagasan bahwa hasil sidang anggota Senat yang mewakili civitas akademika itu perlu diamanatkan untuk dijalankan oleh Rektor yang berada di lantai dua gedung itu. Dengan demikian perintah pengoperasian kerja menjadi mudah diturunkan ke satuan-satuan pelaksananya di lantai dasar kemudian menyebarkan ke sasaran. Itu dasar pemikirannya, dan itu pula yang semestinya terjadi dalam tata cara pengambilan keputusan yang berlangsung seperti: musyawarah para orang bijaksana adalah yang paling pantas berada di tempat tertinggi, amanatnya diturunkan ke bawah kemudian dijabarkan. Oleh sebab itu Gedung yang tertinggi di Kampus UI ini bukanlah mewakili kekuasaan, melainkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan keputusan bersama orang-orang bijaksana. Rektor tunduk pada amanat yang diembankan kepadanya.


Keberadaan PAUI
Pusat administrasi Universitas Indonesia itu berupa suatu kompleks yang terdiri atas Gedung Pusat Administrasi (GPAUI), Gedung Lembaga Penelitian (Sekarang menjadi Direktorat Reset dan Pengabdian Masyarakat DRPM), Gedung Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM, Sekarang Bagian Pelayanan Akademik), Galeri (sekarang Kantin), dan Bangsal Terbuka. Gedung PAUI merupakan bangunan tertinggi di dalam kompleks tersebut dengan Kantin dan Bangsal Terbuka sebagai gedung terpendek. PAUI menempati suatu pelataran seluas satu hektar (100X100 meter). Saya menyiapkan Rencana Induk kompleks tersebut dengan model dan merancangkannya hingga tahap pengembangan prarancang yang dibantu oleh Sonny Sutanto dan Joyce Mantik. DRPM, LPM, Kantin, dan bangsal dirancang oleh Budi A. Sukada.

Dengan komposisi GPAUI berada di pusat dan bangunan lain mengelilinginya, maka seluruh kompleks tersebut disebut almarhum Rektor tahun 1983-1986 Nugroho Notosusanto menyerupai citra candi yang selalu ada induk dan anaknya. Pada saat merancang kompleks tersebut, pengetahuan saya tentang kecandian dan arsitektur orang Jawa masih amat kurang. Citra tersebut justeru diperoleh dari almarhum yang kental dengan budaya asalnya.

Kehadiran GPAUI seperti itu tak terlepas dari gagasan rencana induk keseluruhan Kampus UI Depok. Dalam Revisi Rencana Induk 1984 yang dilakukan oleh Tim Lembaga Teknologi Fakultas Teknik Univerisitas Indonesia (LEMTEKFTUI) yang saat itu melibatkan saya, Budi A. Sukada, dan Triatno Yudoharjoko, telah ditentukan ranah pusat dan pinggiran dalam lahan kampus yang tersedia sesuai dengan Motto Negara: Bhinneka Tunggal Ika, dengan pusat sebagai penyatu atau Tunggal dan pinggiran sebagai bunga rampai ilmu atau Bhinneka. Pusat berisi segala jenis fasilitas bersama, yaitu administrasi, data, pustaka, ibadah, mahasiswa, olah raga dan aula. Pinggiran berisi berbagai fakultas yang mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan humaniora. Tim pada saat itu memutuskan bahwa semua bangunan berada di dalam lintas dalam jalan keliling kampus yang landasannya sudah disiapkan. Tim kemudian membuat jalan lingkar Pusat yang mengelilingi danau buatan yang sudah dibuat sebelumnya.

Kawasan pusat memantapkan, namun tak perlu terlalu keras, mengejawantahkan ikatan bangunan-bangunan melalui sumbu jalan penghubung. Oleh sebab itu titik-titik penyatu yang diwakilkan berbagai puncak atap di dalam kawasan Pusat akan membentuk sumbu-sumbu visual maya, tanpa diperkuat oleh sumbu visual nyata. Taman sekeliling akan menyamarkan sumbu-sumbu tersebut dan membuat pandangan lebih luas sebagaimana taman-taman yang ada di negara Timur Jauh (Cina, Jepang). Pesan Rektor saat itu adalah memberi nuansa taman Inggeris (English Garden) yang senantiasa mengandung kabut (Saat itu Depok masih sering diliput kabut pada pagi hari), dan gugus tanaman yang memutuskan pandangan langsung ke berbagai sosok bangunan. Kebetulan danau yang ada membantu menentukan suasana yang memungkinkan penerapan “Taman Inggeris” ala penafsiran Tim perancang dan gugus bangunan di sekitar pusat itu menimbulkan citra lain. Taman di sekitar danau menjadi taman yang cukup mampu membentuk sifat romantika dan disukai oleh mahasiswa dan masyarakat yang memanfaatkan waktu santainya di sekelilingnya.

Sosok utama kompleks bagaikan paku yang mematok seluruh kompleks Universitas Indonesia. Sebagai bangunan tertinggi dia mudah dilihat. Wajar jika dia juga berada di dataran tertinggi agar sosoknya lebih tinggi, namun tak ada pelataran demikian. Tempat dia berdiri justeru ada pada dataran yang lebih rendah dan jika memaksanya menempati latar tinggi, tak lagi sesuai dengan kaidah “sesedikit mungkin mengubah lahan”. Keadaan tersebut dapat diterima, dan kebutulan, sosok tinggi di latar rendah menawarkan kerendahan hati sehingga melunakkan suasana dan menjadikan pancaran diri tanpa perlu mengancam sekitarnya. Dengan kehadiran demikian, pencapaian ke dirinya juga tak memerlukan penegasan melalui suatu sumbu jalan. Terjadilah pendekatan yang menuju sisi bangunan. Gambaran tersebut disambut dengan baik Rektor saat itu yang langsung memberi perumpamaan bahwa, bagikan gadis cantik, menarik sosoknya tapi sulit didekati.

Jika seseorang memasuki lingkungan Kampus UI, ia akan menghadapi bangunan gedung berlantai tiga dan empat. Pada saat ia menghadapi GPAUI yang demikian tinggi tentu seyogyanya jiwanya perlu disiapkan. Untuk itu saya sediakan ruang peralihan berbentuk halaman terlingkup. Di taman itu pengunjung dapat mengubahkan suasana hati menjadi tenang sejenak untuk menginjakkan kakinya ke anak-anak tangga mencapai lantai dasar bangunan. Ruang tersebut kini dipakai sebagai lapangan upacara bendera. Halaman tersebut mendapat julukan sebagian pengunjung sebagai Shaolin Temple.

Sebagai paku dan sosok tertinggi kompleks, GPAUI menerjemahkan hakekat tipe arsitektural yang pada era 1980an dikenal sebagai gubuk primitif. Tak dapat dipungkiri bahwa saya sebagai peletak gagasan utama bangunan tersebut pada saat itu baru selesai belajar dari Program Studi Arsitektur Graduate School of Architecture and Urban Planning, University of California di Los Angeles. Saat itu tokoh Aldo Rossi sedang dibahas hangat dan gagasannya tentang typology (type sebagai asal usul) amat berpengaruh di belahan Eropa dan Amerika Serikat. Saya dengan Budi A. Sukada yang juga baru selesaikan masa belajarnya di Architectural Association School of Architecture, London, cenderung menganalisis bahan-bahan tentang bentuk bangunan yang beredar di Indonesia dan terkumpul oleh Direktorat Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan pedoman tipoligis, sesuai dengan penafsiran kami berdua.


Gagasan dan Pengejawantahan
Mengacu pada gubuk primitif sebagai tipe arsitektural maka GPAUI merupakan pengejawantahan empat penyokong yang dinaungi oleh satu penutup. Dalam bahasa bangunan yang beredar di Nusantara, atap hampir semua tunggal dan berbentuk asali seperti piramida, kerucut, atau lembaran lipat. Tentu wujud tersebut merupakan suatu hasil perkembangan yang melintasi watu cukup lama, namun intinya adalah mencoba menerjemahkan yang terbayangkan menjadi kenyataan. Dari titiktolak itu saya memalihkan empat penyokong menjadi badan bangunan, dan kemudian menutupinya dengan atap besar. Terajdilah gambaran awal yang meletakkan sebuah atap besar dengan empat tiang besar pendukungnya. Empat tiang tersebut adalah bangunan yang disatukan oleh rongga tengah. Dengan demikian di bawah atap seyogyanya berlangsung kegiatan terpenting. Tak ada yang lebih penting dari pada pembuatan kebijakan bagi seluruh kampus, yaitu sidang Senat Guru Besar. Di dunia orang Timur, kebijaksanaan berada di atas pengetahuan. Kebijaksanaan itu disalurkan melalui keempat penyokong berwujud bangunan yang di dalamnya para penerus/penjabar kebijaksanaan bekerja.

Denah gedung utama PAUI terdiri atas empat buah bujursangkar (tiang simbolik)yang dihubungkan oleh “jembatan-jembatan”. Dengan demikian terdapat sebuah rongga berwujud bujursangkar pula di tengah. Cerobong tersebut menerus mencapai lantai di bawah Ruang Sidang Senat Guru Besar. Dalam rencana awal, rongga tersebut tersinari karena lantai ruang sidang yang berada di-atasnya cukup tipis sehingga mengundang cahaya masuk menyentuh rongga utama tersebut. Namun dalam pelaksanaan, yang bertepatan pula dengan saat saya harus meninggalkan tugas ini untuk melanjutkan studi di University of California at Berkeley, muncul masalah: rumah lift akan menembus atap.

Masalah tersebut coba diselesaikan oleh pelanjut perancangan, Osriful Usman, yang pada saat itu tak dapat menghubungi saya. Keputusan anggota tim penerus adalah menurunkan lantai tersebut agar dapat langsung dilayani lift. Dengan penurunan lantai maka rongga tersebut tertutup rapat dan cahaya tak sudi lagi masuk. Andaikan saya diberitahu tentu ada penyelesaian lain seperti: biarkan saja lift berhenti satu lantai di bawah Ruang Sidang, kemudian melalui tangga para hadirin sidang dapat mencapai lantai atas. Dengan demikian tentu masih ada kesempatan bagi sinar untuk masuk dengan bahagianya.

Sebagai akibat dari keputusan itu kini rongga terasa gelap. Kegelapan ini tentu tak diharapkan oleh mereka yang menganut paham arsitektur moderen yang mengagungkan ruang yang terang. Namun bagi budaya yang menerima kegelapan sebagai suatu suasana yang tak kalah mulia hal tersebut dapat diterima dan bahkan disukai.[2] Di lantai dasar yang disebut Balai Kirti ini, saya harapkan tercipta suasana hening dan hal itu pula tampaknya terwujudkan. Dari lantai tersebut mata orang diantar mengikuti empat tiang penyangga, menelusuri rongga ke arah atas dan menemui langit-langit yang merupakan lantai Ruang Sidang. Di lantai dasar pengunjung dapat mengikuti tangga “mulia” yang pijakan hentian akhirnya berada di lantai dua, tempat jajarang pimpinan UI bekerja.

Lantai dua adalah lantai kegiatan utama pimpinan, sebagaimana terjadi pada masa rumah panggung tradisional. Dari lantai tersebut, prosesi langkah Rektor menuju Balai Kirti untuk suatu upacara resmi dapat diikuti hadirin di lantai dasar melalui tangga “mulia” tadi. Dengan demikian penempatan lantai dua tersebut sekaligus memiliki makna simbolik yang terkait dengan upacara. Di situ terdapat ruang kerja: Rektor, Pembantu-pembantu (sekarang istiahnya diganti jadi wakil) Rektor, dan ruang rapat pimpinan. Rektor menempatai ruang yang berada di sisi Timur Laut; suatu sudut yang dapat menikmati pandangan ke danau dan fakultas-fakultas, juga dapat menyambut mata hari pagi dan menjemput harapan. Ruang tersebut memiliki meja dan kursi kerja, meja dan kursi tamu, meja dan kursi rapat, satu ruang cadangan untuk sholat dan istirahat, dan ruang sekretaris Rektor yang dilengkapi dengan mesin penggandaan dokumen. Jika ditinjau dari segi luas, maka ruang tersebut amat besar.

Karena pada saat itu Departemen Pekerjaan Umum yang masih bertanggungjawab mengelola gedung-gedung negara membatasi semua bangunan gedung negara hingga delapan lantai maksimum, maka gedung PAUI mencoba memenuhi persyaratan tersebut dengan satu [semi] basement, sebuah lantai dasar, delapan lantai tipikal, dan sebuah attic. Dengan pengistilahan tersebut maka batas delapan lantai terpenuhi dan diijinkan. Ruang Sidang Senat Guru Besar berada di attic dengan atap yang menjulang tinggi. Tinggi keseluruhan GPAUI mencapai 85 meter, setara dengan bangunan 20 lantai gedung kantor yang berjarak antar lantai empat meter.

[Semi]Basement tersebut menyediakan tempat bagi kegiatan pelayanan luas yang bersifat lebih umum, seperti kantor pos, bank (kemudian BNI menyumbang sebuah gedung untuk ditempatinya sebagai kantor cabang dan lantai atasnya dipakai sebagai Balai Sidang). Segala kegiatan yang lebih hirukpikuk berada di lantai ini. Kini wajah dalam lantai ini telah mengalami perubahan, dengan kegiatan lebih resmi sesuai dengan tuntutan waktu.

PAUI mengumpulkan kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi. Di situ pimpinan universitas berkantor; para guru besar (yang pada saat itu langsung menjadi anggota senat) bersidang; dan para mengelola penelitian dan pengabdian masyarakta berkantor. Karena di tempat ini para guru besar berkumpul secara terjadwal, maka dia sebaiknya dekat dengan pusat bagi seluruh masyarakat akademik berkumpul, yaitu Balairung UI. Dengan demikian salah satu bagian bawahnya perlu menyiapkan diri untuk prosesi upacara wisuda. Di situ para guru besar dapat mengganti pakaian sehari-harinya ke toga. Prosesi tersebut mulai dari Bangsal Terbuka dengan koridor penghubung menuju Balairung.

Renungan Akhir
Sosok GPAUI tampaknya diterima sebagai gedung cukup bermakna bagi Universitas Indonesia Kampus Depok. Secara tak sadar atau langsung dia juga diterima dunia media masa cetak yang pada saat memuat rubrik pendidikan tinggi sering memajangnya di depan. Sosoknya juga menghiasi sticker, perangko 1000 rupiah, dan cendramata UI. Hal tersebut tentu suatu pengakuan tak langsung atas keberadaannya, tapi bukanlah maksud saya pada saat merancangnya untuk menjadikannya seperti itu. Suatu bangunan gedung begitu dibangun, semua orang yang memerhatikannya dapat dan berhak menilai dan menafsirkannya.

Tanpa penempatan yang bagus, tanpa dukungan bentang lahan dengan danau, Balairung dan Masjid Kampus UI, kehadiran PAUI tak akan seperti ini. Bagaimana dia akan dikenang, sejarah yang akan menetukan. Dia baru berusia 20 tahun pada saat tulisan ini diselesaikan.

Kisah di balik semua yang saya paparkan mungkin tak diketahui banyak orang, namun apakah PAUI pantas mewakili kawasan tempat berdirinya, amat tergantung pada selera penikmat. Saya hanya menutur kisahnya dengan sikap berjarak jauh dari pengunjung dan pemakainya. Sebagai pemakai bangunan umum ini tentu sebaiknya tahu diri, bahwa mereka hanya penghuni sementara, bukanlah hak mereka untuk merombak secara dahsyat sosok itu, kecuali jika ia tak dapat lagi berperan dan menjalankan tugasnya sesuai amanat yang diembankan padanya.


Depok, September 2007



[1] Saya mencatat hanya Kent Campus Library, kemudian Dana Porter Library di University of Waterloo (gedung akademik tertinggi, bukan gedung tertinggi di seluruh Kampus Waterloo), University of Oregon, dan beberapa universitas yang baru menambahkan perpustakaannya.

[2] Pada saat kunjungan rombongan Aga Khan bulan Agustus 1991 ke PAUI, salah satu peserta dari India menanyakan apakah kegelapan yang terjadi itu disengaja dan saya menajwab tidak. Dia menyayangkannya karena baginya justeru daerah itu perlu gelap untuk menciptakan suasana hening.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar