Selasa, 01 September 2009

Sebagian Arsitek yang Patut Diketahui

Di luar nama-nama “bintang” seperti Le Corbusier, Mies van der Rohe, Robert Venturi, Bernard Tschumi, Rem Koolhaas, dsb., ada banyak arsitek lain yang menciptakan karya-karya dan pemikiran-pemikiran unggul (atau berpengaruh). Di bawah ini adalah informasi mengenai sebagian aristek-arsitek tersebut, beserta sumber informasi mengenai mereka.

Balkrishna Vithaldas Doshi (India)
http://archnet.org/library/parties/one-party.jsp?party_id=12
http://www.greatbuildings.com/architects/Balkrishna_Doshi.html

Luis Barragàn (Mexico)
http://www.barragan-foundation.org/
http://www.designmuseum.org/design/luis-barragan

Geoffrey Bawa (Sri Lanka)
www.geoffreybawa.com
http://www.archnet.org/library/images/sites.jsp?select=collection&key=883

Alvaro Siza (Portugal)
http://alvarosizavieira.com/
www.greatbuildings.com/architects/Alvaro_Siza.html

Tadao Ando (Jepang)
www.designboom.com/eng/interview/ando.html
www.greatbuildings.com/architects/Tadao_Ando.html

Friedrich Silaban (Indonesia)
Buku “Rumah Silaban/Silaban House,” dapat dibeli di Jurusan Arsitektur, FT Universitas Tarumanagara

Odile Decq (Prancis)
www.odbc-paris.com
architypes.net/article/odile-decq

Hassan Fathy (Mesir)
www.fathyheritage.com
http://www.archnet.org/library/parties/one-party.jsp?party_id=1

Eko Prawoto (Indonesia)
www.arteallarte.org/aap/english/2003/prawoto/index.html

Peter Zumthor (Swiss)
www.pritzkerprize.com/laureates/2009/photobooklet2009.pdf

Aldo Rossi (Italia)
www.greatbuildings.com/architects/Aldo_Rossi.html
www.designboom.com/eng/exhibition/rossi1.html

Team X, Sebuah Kisah Penting lainnya dalam Sejarah Arsitektur Modern

Di tahun 1953, dalam kongres CIAM ke-9, ada sekelompok arsitek yang mempertanyakan pandangan-pandangan CIAM terutama dalam hal perkotaan. Kelompok ini yang kemudian menjadi Team 10, atau kerap ditulis sebagai Team X. Munculnya kritisisme Team X terhadap pendekatan modernis dalam aspek perkotaan, sebagaimana yang diusung oleh CIAM, merupakan sebuah episode penting, yang mana arsitektur modern mulai dipertanyakan.

Untuk lebih lanjut mengenai Team X, dapat dilihat di:
http://www.team10online.org/

CIAM, Sebuah Kisah Penting dalam Sejarah Arsitektur Modern

Di tahun 1928, di château de la Sarraz, Swiss, 28 arsitek modern mendirikan Congrès Internationaux d’Architecture Moderne (Kongres Internasional Arsitektur Modern), yang disingkat menjadi CIAM. Pendirian ini dimotori oleh Le Corbusier (arsitek), Sigfried Giedion (sejarawan seni, yang menjadi sekretaris jenderal CIAM yang pertama) dan Hélène de Mandrot, pemilik château.

Untuk lebih lanjut mengenai CIAM, dapat dilihat di:
http://www.open2.net/modernity/4_2.htm

Minggu, 30 Agustus 2009

Mencari Yang Lokal di Indonesia; GPAUI sebagai Contoh Kasus

Di abad ke-20, terjadi beberapa usaha di berbagai negara untuk mencari arsitektur bagi bangsa masing-masing. Begitu juga di Indonesia. Salah satu kasus percobaan untuk mencari ke-Indonesia-an pada karya arsitektur terjadi di pertengahan 1980. Saat itu kampus Universitas Indonesia dipindah ke Depok. Sebuah bangunan utama, Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia (GPAUI) dirancang bersama berbagai bangunan lain di kampus UI Depok.

Atas permintaan rektor UI saat itu, GPAUI harus menampilkan sifat ke-Indonesia-an. Di bawah ini adalah sebuah penuturan mengenai proyek tersebut, sebagaimana dituliskan oleh Gunawan Tjahjono, salah seorang anggota tim arsitek gedung tersebut. Tjahjono adalah perancang utama dalam tim tersebut. Penuturan via tulisan oleh Tjahjono ini didapatkan di tahun 2007, ketika saya sedang mempersiapkan sebuah pameran bersama Pusat Dokumentasi Arsitektur. Berikut adalah penuturan Tjahjono.


GEDUNG PUSAT ADMINISTRASI UNIVERSITAS INDONESIA: PANDANGAN PERANCANG UTAMANYA

Pertanyaan
Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia (GPAUI) lebih dikenal sebagai gedung Rektorat UI karena istilah itu berlaku untuk tempat rektor perguruan tinggi bekerja pada saat itu. Maka, sejak dia berdiri, istilah itu yang melekat padanya. Gedung tersebut juga oleh beberapa kalangan dianggap tak pantas sebagai bangunan tertinggi suatu kampus karena mereka yang berpendapat demikian menganggap seyogianya perpusatakaan sebagai lambang pengetahuan itu yang pantas tertinggi. Tentu pendapat siapa dan apa saja selalu boleh. Pertanyaan saya adalah, ada berapa kampus kelas dunia yang menempatkan perpusatakaannya sebagai bangunan tertingginya?[1]

Arsitek GPAUI tak menempatkan kamar kerja Rektor UI di lantai teratasnya, dia melainkan meletakkan ruang sidang Senat Guru Besar Universitas di lantai puncak. Itu karena gagasan bahwa hasil sidang anggota Senat yang mewakili civitas akademika itu perlu diamanatkan untuk dijalankan oleh Rektor yang berada di lantai dua gedung itu. Dengan demikian perintah pengoperasian kerja menjadi mudah diturunkan ke satuan-satuan pelaksananya di lantai dasar kemudian menyebarkan ke sasaran. Itu dasar pemikirannya, dan itu pula yang semestinya terjadi dalam tata cara pengambilan keputusan yang berlangsung seperti: musyawarah para orang bijaksana adalah yang paling pantas berada di tempat tertinggi, amanatnya diturunkan ke bawah kemudian dijabarkan. Oleh sebab itu Gedung yang tertinggi di Kampus UI ini bukanlah mewakili kekuasaan, melainkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan keputusan bersama orang-orang bijaksana. Rektor tunduk pada amanat yang diembankan kepadanya.


Keberadaan PAUI
Pusat administrasi Universitas Indonesia itu berupa suatu kompleks yang terdiri atas Gedung Pusat Administrasi (GPAUI), Gedung Lembaga Penelitian (Sekarang menjadi Direktorat Reset dan Pengabdian Masyarakat DRPM), Gedung Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM, Sekarang Bagian Pelayanan Akademik), Galeri (sekarang Kantin), dan Bangsal Terbuka. Gedung PAUI merupakan bangunan tertinggi di dalam kompleks tersebut dengan Kantin dan Bangsal Terbuka sebagai gedung terpendek. PAUI menempati suatu pelataran seluas satu hektar (100X100 meter). Saya menyiapkan Rencana Induk kompleks tersebut dengan model dan merancangkannya hingga tahap pengembangan prarancang yang dibantu oleh Sonny Sutanto dan Joyce Mantik. DRPM, LPM, Kantin, dan bangsal dirancang oleh Budi A. Sukada.

Dengan komposisi GPAUI berada di pusat dan bangunan lain mengelilinginya, maka seluruh kompleks tersebut disebut almarhum Rektor tahun 1983-1986 Nugroho Notosusanto menyerupai citra candi yang selalu ada induk dan anaknya. Pada saat merancang kompleks tersebut, pengetahuan saya tentang kecandian dan arsitektur orang Jawa masih amat kurang. Citra tersebut justeru diperoleh dari almarhum yang kental dengan budaya asalnya.

Kehadiran GPAUI seperti itu tak terlepas dari gagasan rencana induk keseluruhan Kampus UI Depok. Dalam Revisi Rencana Induk 1984 yang dilakukan oleh Tim Lembaga Teknologi Fakultas Teknik Univerisitas Indonesia (LEMTEKFTUI) yang saat itu melibatkan saya, Budi A. Sukada, dan Triatno Yudoharjoko, telah ditentukan ranah pusat dan pinggiran dalam lahan kampus yang tersedia sesuai dengan Motto Negara: Bhinneka Tunggal Ika, dengan pusat sebagai penyatu atau Tunggal dan pinggiran sebagai bunga rampai ilmu atau Bhinneka. Pusat berisi segala jenis fasilitas bersama, yaitu administrasi, data, pustaka, ibadah, mahasiswa, olah raga dan aula. Pinggiran berisi berbagai fakultas yang mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan humaniora. Tim pada saat itu memutuskan bahwa semua bangunan berada di dalam lintas dalam jalan keliling kampus yang landasannya sudah disiapkan. Tim kemudian membuat jalan lingkar Pusat yang mengelilingi danau buatan yang sudah dibuat sebelumnya.

Kawasan pusat memantapkan, namun tak perlu terlalu keras, mengejawantahkan ikatan bangunan-bangunan melalui sumbu jalan penghubung. Oleh sebab itu titik-titik penyatu yang diwakilkan berbagai puncak atap di dalam kawasan Pusat akan membentuk sumbu-sumbu visual maya, tanpa diperkuat oleh sumbu visual nyata. Taman sekeliling akan menyamarkan sumbu-sumbu tersebut dan membuat pandangan lebih luas sebagaimana taman-taman yang ada di negara Timur Jauh (Cina, Jepang). Pesan Rektor saat itu adalah memberi nuansa taman Inggeris (English Garden) yang senantiasa mengandung kabut (Saat itu Depok masih sering diliput kabut pada pagi hari), dan gugus tanaman yang memutuskan pandangan langsung ke berbagai sosok bangunan. Kebetulan danau yang ada membantu menentukan suasana yang memungkinkan penerapan “Taman Inggeris” ala penafsiran Tim perancang dan gugus bangunan di sekitar pusat itu menimbulkan citra lain. Taman di sekitar danau menjadi taman yang cukup mampu membentuk sifat romantika dan disukai oleh mahasiswa dan masyarakat yang memanfaatkan waktu santainya di sekelilingnya.

Sosok utama kompleks bagaikan paku yang mematok seluruh kompleks Universitas Indonesia. Sebagai bangunan tertinggi dia mudah dilihat. Wajar jika dia juga berada di dataran tertinggi agar sosoknya lebih tinggi, namun tak ada pelataran demikian. Tempat dia berdiri justeru ada pada dataran yang lebih rendah dan jika memaksanya menempati latar tinggi, tak lagi sesuai dengan kaidah “sesedikit mungkin mengubah lahan”. Keadaan tersebut dapat diterima, dan kebutulan, sosok tinggi di latar rendah menawarkan kerendahan hati sehingga melunakkan suasana dan menjadikan pancaran diri tanpa perlu mengancam sekitarnya. Dengan kehadiran demikian, pencapaian ke dirinya juga tak memerlukan penegasan melalui suatu sumbu jalan. Terjadilah pendekatan yang menuju sisi bangunan. Gambaran tersebut disambut dengan baik Rektor saat itu yang langsung memberi perumpamaan bahwa, bagikan gadis cantik, menarik sosoknya tapi sulit didekati.

Jika seseorang memasuki lingkungan Kampus UI, ia akan menghadapi bangunan gedung berlantai tiga dan empat. Pada saat ia menghadapi GPAUI yang demikian tinggi tentu seyogyanya jiwanya perlu disiapkan. Untuk itu saya sediakan ruang peralihan berbentuk halaman terlingkup. Di taman itu pengunjung dapat mengubahkan suasana hati menjadi tenang sejenak untuk menginjakkan kakinya ke anak-anak tangga mencapai lantai dasar bangunan. Ruang tersebut kini dipakai sebagai lapangan upacara bendera. Halaman tersebut mendapat julukan sebagian pengunjung sebagai Shaolin Temple.

Sebagai paku dan sosok tertinggi kompleks, GPAUI menerjemahkan hakekat tipe arsitektural yang pada era 1980an dikenal sebagai gubuk primitif. Tak dapat dipungkiri bahwa saya sebagai peletak gagasan utama bangunan tersebut pada saat itu baru selesai belajar dari Program Studi Arsitektur Graduate School of Architecture and Urban Planning, University of California di Los Angeles. Saat itu tokoh Aldo Rossi sedang dibahas hangat dan gagasannya tentang typology (type sebagai asal usul) amat berpengaruh di belahan Eropa dan Amerika Serikat. Saya dengan Budi A. Sukada yang juga baru selesaikan masa belajarnya di Architectural Association School of Architecture, London, cenderung menganalisis bahan-bahan tentang bentuk bangunan yang beredar di Indonesia dan terkumpul oleh Direktorat Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan pedoman tipoligis, sesuai dengan penafsiran kami berdua.


Gagasan dan Pengejawantahan
Mengacu pada gubuk primitif sebagai tipe arsitektural maka GPAUI merupakan pengejawantahan empat penyokong yang dinaungi oleh satu penutup. Dalam bahasa bangunan yang beredar di Nusantara, atap hampir semua tunggal dan berbentuk asali seperti piramida, kerucut, atau lembaran lipat. Tentu wujud tersebut merupakan suatu hasil perkembangan yang melintasi watu cukup lama, namun intinya adalah mencoba menerjemahkan yang terbayangkan menjadi kenyataan. Dari titiktolak itu saya memalihkan empat penyokong menjadi badan bangunan, dan kemudian menutupinya dengan atap besar. Terajdilah gambaran awal yang meletakkan sebuah atap besar dengan empat tiang besar pendukungnya. Empat tiang tersebut adalah bangunan yang disatukan oleh rongga tengah. Dengan demikian di bawah atap seyogyanya berlangsung kegiatan terpenting. Tak ada yang lebih penting dari pada pembuatan kebijakan bagi seluruh kampus, yaitu sidang Senat Guru Besar. Di dunia orang Timur, kebijaksanaan berada di atas pengetahuan. Kebijaksanaan itu disalurkan melalui keempat penyokong berwujud bangunan yang di dalamnya para penerus/penjabar kebijaksanaan bekerja.

Denah gedung utama PAUI terdiri atas empat buah bujursangkar (tiang simbolik)yang dihubungkan oleh “jembatan-jembatan”. Dengan demikian terdapat sebuah rongga berwujud bujursangkar pula di tengah. Cerobong tersebut menerus mencapai lantai di bawah Ruang Sidang Senat Guru Besar. Dalam rencana awal, rongga tersebut tersinari karena lantai ruang sidang yang berada di-atasnya cukup tipis sehingga mengundang cahaya masuk menyentuh rongga utama tersebut. Namun dalam pelaksanaan, yang bertepatan pula dengan saat saya harus meninggalkan tugas ini untuk melanjutkan studi di University of California at Berkeley, muncul masalah: rumah lift akan menembus atap.

Masalah tersebut coba diselesaikan oleh pelanjut perancangan, Osriful Usman, yang pada saat itu tak dapat menghubungi saya. Keputusan anggota tim penerus adalah menurunkan lantai tersebut agar dapat langsung dilayani lift. Dengan penurunan lantai maka rongga tersebut tertutup rapat dan cahaya tak sudi lagi masuk. Andaikan saya diberitahu tentu ada penyelesaian lain seperti: biarkan saja lift berhenti satu lantai di bawah Ruang Sidang, kemudian melalui tangga para hadirin sidang dapat mencapai lantai atas. Dengan demikian tentu masih ada kesempatan bagi sinar untuk masuk dengan bahagianya.

Sebagai akibat dari keputusan itu kini rongga terasa gelap. Kegelapan ini tentu tak diharapkan oleh mereka yang menganut paham arsitektur moderen yang mengagungkan ruang yang terang. Namun bagi budaya yang menerima kegelapan sebagai suatu suasana yang tak kalah mulia hal tersebut dapat diterima dan bahkan disukai.[2] Di lantai dasar yang disebut Balai Kirti ini, saya harapkan tercipta suasana hening dan hal itu pula tampaknya terwujudkan. Dari lantai tersebut mata orang diantar mengikuti empat tiang penyangga, menelusuri rongga ke arah atas dan menemui langit-langit yang merupakan lantai Ruang Sidang. Di lantai dasar pengunjung dapat mengikuti tangga “mulia” yang pijakan hentian akhirnya berada di lantai dua, tempat jajarang pimpinan UI bekerja.

Lantai dua adalah lantai kegiatan utama pimpinan, sebagaimana terjadi pada masa rumah panggung tradisional. Dari lantai tersebut, prosesi langkah Rektor menuju Balai Kirti untuk suatu upacara resmi dapat diikuti hadirin di lantai dasar melalui tangga “mulia” tadi. Dengan demikian penempatan lantai dua tersebut sekaligus memiliki makna simbolik yang terkait dengan upacara. Di situ terdapat ruang kerja: Rektor, Pembantu-pembantu (sekarang istiahnya diganti jadi wakil) Rektor, dan ruang rapat pimpinan. Rektor menempatai ruang yang berada di sisi Timur Laut; suatu sudut yang dapat menikmati pandangan ke danau dan fakultas-fakultas, juga dapat menyambut mata hari pagi dan menjemput harapan. Ruang tersebut memiliki meja dan kursi kerja, meja dan kursi tamu, meja dan kursi rapat, satu ruang cadangan untuk sholat dan istirahat, dan ruang sekretaris Rektor yang dilengkapi dengan mesin penggandaan dokumen. Jika ditinjau dari segi luas, maka ruang tersebut amat besar.

Karena pada saat itu Departemen Pekerjaan Umum yang masih bertanggungjawab mengelola gedung-gedung negara membatasi semua bangunan gedung negara hingga delapan lantai maksimum, maka gedung PAUI mencoba memenuhi persyaratan tersebut dengan satu [semi] basement, sebuah lantai dasar, delapan lantai tipikal, dan sebuah attic. Dengan pengistilahan tersebut maka batas delapan lantai terpenuhi dan diijinkan. Ruang Sidang Senat Guru Besar berada di attic dengan atap yang menjulang tinggi. Tinggi keseluruhan GPAUI mencapai 85 meter, setara dengan bangunan 20 lantai gedung kantor yang berjarak antar lantai empat meter.

[Semi]Basement tersebut menyediakan tempat bagi kegiatan pelayanan luas yang bersifat lebih umum, seperti kantor pos, bank (kemudian BNI menyumbang sebuah gedung untuk ditempatinya sebagai kantor cabang dan lantai atasnya dipakai sebagai Balai Sidang). Segala kegiatan yang lebih hirukpikuk berada di lantai ini. Kini wajah dalam lantai ini telah mengalami perubahan, dengan kegiatan lebih resmi sesuai dengan tuntutan waktu.

PAUI mengumpulkan kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi. Di situ pimpinan universitas berkantor; para guru besar (yang pada saat itu langsung menjadi anggota senat) bersidang; dan para mengelola penelitian dan pengabdian masyarakta berkantor. Karena di tempat ini para guru besar berkumpul secara terjadwal, maka dia sebaiknya dekat dengan pusat bagi seluruh masyarakat akademik berkumpul, yaitu Balairung UI. Dengan demikian salah satu bagian bawahnya perlu menyiapkan diri untuk prosesi upacara wisuda. Di situ para guru besar dapat mengganti pakaian sehari-harinya ke toga. Prosesi tersebut mulai dari Bangsal Terbuka dengan koridor penghubung menuju Balairung.

Renungan Akhir
Sosok GPAUI tampaknya diterima sebagai gedung cukup bermakna bagi Universitas Indonesia Kampus Depok. Secara tak sadar atau langsung dia juga diterima dunia media masa cetak yang pada saat memuat rubrik pendidikan tinggi sering memajangnya di depan. Sosoknya juga menghiasi sticker, perangko 1000 rupiah, dan cendramata UI. Hal tersebut tentu suatu pengakuan tak langsung atas keberadaannya, tapi bukanlah maksud saya pada saat merancangnya untuk menjadikannya seperti itu. Suatu bangunan gedung begitu dibangun, semua orang yang memerhatikannya dapat dan berhak menilai dan menafsirkannya.

Tanpa penempatan yang bagus, tanpa dukungan bentang lahan dengan danau, Balairung dan Masjid Kampus UI, kehadiran PAUI tak akan seperti ini. Bagaimana dia akan dikenang, sejarah yang akan menetukan. Dia baru berusia 20 tahun pada saat tulisan ini diselesaikan.

Kisah di balik semua yang saya paparkan mungkin tak diketahui banyak orang, namun apakah PAUI pantas mewakili kawasan tempat berdirinya, amat tergantung pada selera penikmat. Saya hanya menutur kisahnya dengan sikap berjarak jauh dari pengunjung dan pemakainya. Sebagai pemakai bangunan umum ini tentu sebaiknya tahu diri, bahwa mereka hanya penghuni sementara, bukanlah hak mereka untuk merombak secara dahsyat sosok itu, kecuali jika ia tak dapat lagi berperan dan menjalankan tugasnya sesuai amanat yang diembankan padanya.


Depok, September 2007



[1] Saya mencatat hanya Kent Campus Library, kemudian Dana Porter Library di University of Waterloo (gedung akademik tertinggi, bukan gedung tertinggi di seluruh Kampus Waterloo), University of Oregon, dan beberapa universitas yang baru menambahkan perpustakaannya.

[2] Pada saat kunjungan rombongan Aga Khan bulan Agustus 1991 ke PAUI, salah satu peserta dari India menanyakan apakah kegelapan yang terjadi itu disengaja dan saya menajwab tidak. Dia menyayangkannya karena baginya justeru daerah itu perlu gelap untuk menciptakan suasana hening.

Mencari Yang Lokal di Indonesia; Mangunwijaya

Setelah Perang Dunia II, arsitektur modern mulai dipertanyakan dan digugat. Efeknya adalah munculnya beberapa fenomena arsitektur. Misalnya arsitektur postmodern (Venturi, dsb.), arsitektur dekonstruksi (Eisenman di masa 1980an, dsb.), dan beberapa usaha untuk menyentuh isyu lokalitas.

Artikel ini menyentuh isyu lokalitas. Ada beberapa arsitek yang merasa arsitektur modern (“the international style”) terlalu menyeragamkan tanpa mempertimbangkan konteks lokal. Ada yang menyentuh faktor budaya (“budaya” dalam pengertian yang ideologis), ada yang menyentuh faktor ikilm, ada pula yang menyentuh faktor manusia.

Beberapa nama arsitek dapat disebutkan di sini sebagai arsitek-arsitek yang mencoba menyentuh isyu lokalitas. Henri Maclaine Pont, Thomas Karsten, Luis Barragan. Lalu ada Friedrich Silaban dan Han Awal, serta Maxwell Fry, Jane Drew dan seorang arsitek Nigeria yang bekerja bersama mereka. Lalu ada Geoffrey Bawa, Y.B. Mangunwijaya dan Hassan Fathy.

Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (alm.) adalah seorang arsitek yang menyentuh aspek lokalitas. Manusia dan pandangan hidupnya serta kesehariannya (Lebensanschaung) merupakan fokusnya. Kegiatannya di pemukiman pinggiran Kali Code membuatnya mendapatkan Penghargaan Aga Khan. Di bawah ini adalah cuplikan sebuah pidato Mangunwijaya untuk penerimaan Penghargaan Ruth dan Ralph Erskin di Stockholm. Dalam pidato ini dapat dilihat pemikiran dan pandangan Mangunwijaya yang humanis, serta alasannya untuk menulis buku Wastu Citra, serta untuk tinggal di pinggiran Kali Code.

Sambutan Terima Kasih Penerimaan The Ruth and Ralph Erskine Award 1995
Words of gratitude for the granting of The Ruth and Ralph Erskine Award 1995

Dear honourable and beloved friends, Chairperson and Board-members of The Ruth Ralph Erskine Foundation. All distinguished guests, architects and friends of architecture.
Sweden and Stokholm was know to me in my childhood, through images of pure white ice-cream pouring down from heaven and happy children riding in sleighs pulled by horses, with bells that jingled sweetly; a region very close to the North Pole far away from our tropical homeland, where snow never fell.

Later, during my study-years in Germany, I unfortunately was not blessed by the good opportunity to visit your country, which is famous for the Nobel-Price Foundation, a noble institution that grants its invaluable awards to scholars with outstanding achievements in science, literature and peace-movements.

And now, beyond the slightest expectations I am granted the honour to receive your prestigious Ruth and Ralph Erskine Fellowship of 1995. I am grateful to finally be blessed with the rare chance of seeing with my own eyes the beautiful land of my childhood dreams, the land from which so many pure images have come to my younger mind. It is all the more very pleasing for me, to think that I will meet all of you and many distinguished architects face to face, here in Stockhlolm. But alas, it is very unfortunate for me, that my physicians deem that my poorly pounding heart would not be strong enough for a journey abroad.

So I ask you for your forgiveness for this inconvenience; and I also ask for your benevolence to receive a good friend of mine, Mr. Eko Prawotom, who is so noble to sacrifice his time to represent me at this ceremony of the granting the Ruth and Ralph Erskin Fellowship Award
With a heart full of gratitude and feelings of unworthiness, I happily welcome your respectable award. I know that my works do not deserve such a great honour adhering to your widely respected Fellowship Award. Receiving the Ruth and Ralph Erskin Fellowship, dear friend, means for me, therefore, honouring the outstanding achievements of Ms. Ruth and Mr. Ralph Erskin and many great architects of Sweden.

And at the same time, it also means paying respect and attention to the disadvantaged poor in all parts of our one world.

Dear friends,
Architecture is a fascinating profession. It bears in itself the vocation to co-create and serve a better and a more human world.

But to be honest, studying architecture and becoming an architect was not my own personal choice, although since childhood I love beautiful things and arrangements; something which I later learn as architecture, town-and regional planning , and the like.

What urged me to become an architect was the wish of my bishop, the late Monsegneur Albert Sugiyopranoto, a great personality who played a historical role in Indonesia’s struggle for independence; to whom the government of the Republic of Indonesia had granted the most honouring title of National Hero.

Bishop Sugiyopranoto deplored the architecture of most church-buildings that belong to the many christian denominations in Indonesia, which in his opinion, may strongly inducea widespread popular view that Christianity was a foreign faith. He wanted church-buildings and on general also the catholic liturgy in Indonesia, to reflect the universal substance of the christian faith in authentical autochtone expressions.

Considering that generally people would see church-buildings first rather than the Holy Scripture or Chruch’s liturgy, he wished me to go to the heart of church-architectural renewal movement after World War II, Germany; to learn the way European architects design religious buildings according to her cultural patterns and her historical heritage as well. I was not, of course, expected to imitate the experience of Europe. instead, I was to study the links between architecture and Lebensanschauung.

Germany proofed to be a very good choice, because many of its buildings and especially its churches that were destroyed by the cruel World War II, had newly designed and built into buildings of high quality. Added to the advantage was that many of the old heritages were still intact, untouched by the vastly destructive war.

Moreover, from Germany I could easily visit neighbouring countries, to see with my own eyes and heart their cultural heritages, which went hand in hand with entirely new efforts in the realm of architecture. Since I was very young my Dutch teachers had already succeed in making me fascinated by the history of Europeans, their ways of life and later their ways of thinking, which wera strongly tied with the history of Chrisitianity and its expression in art.

From my study in Germany, I learned from my lecturers at the Rheinish-Westfaelischer Hoshshule in Aachen and from the best examples of the old and modern architecture of Central Europe, to find the inner link between truth and beauty, which revealed to me how good and genuine architecture should be built. Not as mere fancies, but as manifestations of the European mind and Lebensanschaung, as expressions of the Bedeutung und Sinn, the symbolization and the inner meaning of architectural buildings, in other words: the unity of Truth and Beauty, which was formulated by Thomas Aquinas as: Pulchritudo splendor ordinis est.

As s student in the decade of the sixties, I was naturally impressed by the ideals of Bauhaus and the modern high-classic achievements of modern architecture, which culminated purely in but also symbolized by the clean mathematical technological aesthetics of Mies van der Rohe (and of course his grandmaster of the less-is-more aesthetics: Japan) and on the other hand the poetic architectural language of Le Corbusier.

Architecture as Lebensanschauung as well as Aesthetics. The question that troubled me most was then: how we Indonesians could establish a contemporary architecture, created on the basis of Truth and Beauty, and relevant to our own Indonesia history and our present situation.
The Balinese architecture and the old traditional architecture of the Javanese could serve as an appropriate foundation for such an endeavour. But it was disheartening to see that Indonesia was steadily destroying her heritage of good architecture from the past, although we could still find, in spite of the scarcity, some few remaining good examples of it.

During my last study-years however, a very good lecturer for town-and regional planning from the Faculty, Herr Dipl. Ing. Liborius Schelhasse, managed to open my eyes to see the real problems of architecture in developing countries. He widened my horizon to discover and explorer the other side of the moon. Aesthetics dimensions remained important of course, but it was not the core of the problem in developing countries, and my be it was not even the problem of architecture of our whole global civilization.

The main problem was justice, the crucial problem of finding the best way to structurally arrange the distribution of the national and global wealth and revenue; the urgent task of establising the best method to justly conduct the relations between the centrum North and the periphery South in the world, and the centrum – periphery relations within the developing countries themselves; the realm of architecture included.

Architecture should not be reduced to the art of making individual buildings only, but extended to all kinds of town-and regional planning that benefitted the majority of the people.

This new dimension of architecture, which Herr L. Schelhasse implanted in my mind on the perfect time, only a year before I finished my study in the Aachener Fakultaet fuer Bauwesen, became the first seed that later grew into the idea of Wastu, the central idea I developed during my 12 years lecturing on Architecture and Lebensanschauung in the Gadjah Mada State University of Yogyakarta (1968 – 1980).

Wastu is a Sanskrit word ; a much more comprehensive conception than the term architecture could suggest. Wastu is more than mere architecture (arche – tectoon = die Ur-sache oder Urdasein der technische und aesthetische Stabilitaet). The wastu-concept belongs to a part of the heritage. We Indonesians, especially the Javanese and the Balinese, owe to the antique Indian civilization, which is extraordinarily very relevant for all of us now. Zeitlos, is the German word for it, always relevant beyond time. Wastu means substantially The good and the true order of all beings which have form; goodness and true that are one as The Undivided and Undefined Self, but emanated into multiple beings which have form in this Maya world of phenomena.

So Wastu refers not only to the good order of buildings, towns or rural areas, but also to the good order of simple household articles, statues and the like; it refers to the good order of all beings that have form, which should return to the One True Undivided Undefined Brahma.
For people who do not view life and the world, ideas and things as not-real-and-deceiving Maya, the Wastu conception, however could still be very valuable in relation to the efforts toward the reordering and reharmonizing our more and more disorganic global word, which desperatedly needs a new and a holistic order of rearranging things. The term architecture (arche-tectoon) became, therewith, more and more inadequate and obsolete because of its narrowness; especially for a developing country like Indonesia.

On the other hand, although originated from a completely different world of interpretation on human life and its destiny, on the cosmos and the whole phenomena, the idea of Wastu could converge with Thomas Aquinas’ unifying idea of beauty as splendor ordinis, as splendor veritatis.

In the seventies I began to beg my friends of the Mother of all architecture-faculties in Indonesia’, the Institute for Technology in Bandung, to pay attention to the danger of the taking the wrong direction of the study of architecture in Indonesia. The blame was not to be placed on our senior architects and lecturers since we were always the children of our own times, yet the whole direction of the study of architecture in Indonesia had to be readjusted to solve the real problems of our country.

We had to reevaluate our concepts and practices of “architecturing”. We had to abandon the role of being mere epigones of the architectural world of thinking and designing that were based on foreign principles and ways of life. The great achievements of the dominant West still remained highly valuable for all of us, and or students had still be informed about their best examples.
However, the designing and the building of all being which have form had to be studied and taught with newer and more appropriate ways. To search for new relevant theories for architecture in Indonesia would be a hard task, and moreover such an endeavour would not be promising for our architects in terms of personal financial gains within the consumeristic mood of a superficial blitz-process of modernization in Indonesia.

Nevertheless ultimately it would be a question of being or not being for millions of Indonesians.
At 1979 – 1980 I asked to be relieved from my university duties to search for another ways to contribute something on behalf of the poor. It was all because I finally realized that I was becoming more and more alienated from the already-alienated paradigm of the official syllabi and teaching programs, which were centrally regulated by the educational policy of the government and accepted by the Indonesian architect society, in response to the actual demands of the contemporary order, which in real practice meant: the surrender to the will of the industrial moguls of the world of Ersatz-Kapitalismus.

I decided then to write my “farewell-book”, for a greater part containing my lectures at the Gadjah Mada State University, supplemented with a concise discourse on Wastucitra (Bild und Bedeutung in the relationship of Wastu and Lebensanshauung). The book was an honest homage to the treasures of the best achievement of architecture from the known Antique and Modern World from all continents, according to classical western criteria of aesthetics. it implicitly honoured the importance and inspiration we owed to western thinking and feeling about architectural aesthetics; albeit still aesthetics rich and powerful, with their abundant possibilities of the established rich and powerful, with their abundant possibilities of enjoying beauty and a wealth of time and leisure, which essentially had little relevance to the actual needs of the majority of Indonesians, who were still suffering from the law of the tropical jungle.

Through this book, entitled Wastucitra, too. I wanted to say good-bye to a beautiful world of seeing architecture from the perspective of a foreign paradigm, and through it I would like to invite, espedially the young, to ponder questions like:

What kind of architecture or better Wastu do we need in Indonesia? How should Wastu be conceived, approached and treated in Indonesia, for the benefit of the whole people and above all for the benefit of the disadvantaged majority of Indonesians?

After all, I wanted to retreat first, searching for a new way to serve the majority of the people.
So I went with a humble heart to the poor in the blackest spot of my town Yogyakarta, where former criminals and prostitutes had build their slum on garbage heaps on the Chode riverside; not yet knowing what exactly to do except that I was intent to teach or make project for them, I did not intent to teach or make projects for them, instead I primarily wanted to live among and with them, to share their fate; and maybe to contribute something useful, someting they needed most but they did not have.

The problem of the poor inhabitants of Chode-riverside was evidently not architecture, but, as I gradually learned from them: how to minimize their inferiority feelings; the common feelings of people that were rejected and abandoned; the everday feelings of people that lived with a permanent fear of being swept away one day by the almighty policies of development and modernization according to international capitalistic standards, which meant: according to western standards as well as their architecture-and town-planning rules.

My live-in became then a shared sociological, religious and political involvement, together with the slum-people on the Chode river-side; each party giving and taking they have and have not as well. Beyond my expectations, such an involvement somehow had contributed to the commencement of new initiatives of exercise, discussions, seminars and even live-in programs by students and lecturers from many Indonesian universities.

Although those activities were only done temporarily, and perhaps a little bit late, they at least had facilitated the intellectuals to establish contact with the poor, while at the time offering services for the benefit of the disadvantaged.

Gradually our senior architects and those among the decision-makers began to think about a topic that had already stirred the European civitas academica circa 1968; the topic that was ignited by the protest waves of the Students Revolutions in Paris and Berlin, (thus after I had finished my studies in Germany and returned to Indonesia), namely the political and socio-economical dimensions of architecture.

Meanwhile in the eighties Mr. Sutami, a very capable engineer during Sukarno’s rule and a respected minister of public works in Suharto’s New Order proposed the idea of a more comprehensive approach to upgrade the traditional town-and regional planning. A new science should then be studied in our universities and governmental institutions, that is, the science of ecological environment-designing within the scope of an all-archipelago space and physical order.
Such new holistic ideas of development among the high level decision-makers brought new hopes that a more human ordering of the many aspects of Indonesian wastu would take place.
Nevertheless in Sutami’s comprehensive frame of ecological thinking, unfortunately, the socio-economical and political aspects were taken for granted. It is understandable due to the existence of a broadly extended political fear. The deepest causes of why it was possible, that a situation could exist where multi-millions poor people lived under the grip of a very very affluent few, were never studied seriously. Up to the present, all the thoughts of most important decision-makers, among them are many architect assigned to the task of town-designing, the sanitary system and other infrastructure improvements, (or to put it in more general terms: modernizing the rural and urban areas) are still based on European views and or American models; entirely alienated from the real problems of the local and regional cultural history and the whole political as well as sociological context, and even sometimes bluntly ignoring contrary facts.

A recent example that provides a good illustration may be the underground railway plan for Jakarta, notabene a metropolis in a region of tectonic and volcanic earthquakes, whose building-ground is sinking by a fraction and centimeter a year and periodically suffering by extensive monsoon-floods.

In my opinion, we Indonesians, should rethink the whole realm of Wastu,starting from the most elementary elements people experienced in their dayly life. What is contextually in Indonesia the thing that is called a wall, a door, a window, a roof, a house, a street within the context of history and the evolution of the way Indonesian common people live together and earn their living?

What is a door? Did in the past doors and windows ever exist in Indonesia? How is it now?
Is a street in Indonesia the same with a street in England? Does it have the same functions?
What could be the most appropriate design for a street in Indonesia’s actual conditions with its specific economical and sociological variables and demands? Are the functions of a kaki-lima in the Glodok area of Jakarta or along the streets of Indonesia’s highly populated cities townsthe same as a trottoir in Paris or a 5-feet path for foot passengers in Birmingham?

Is a pasar in Indonesia the same thing as a market in Scandinavia? What is a bus for Indonesia?
Is a river coiling through an Indonesian town the same as the same river curving its way through rice-fields in the rural areas? Does a river like the Ciliwung in Jakarta have the same functions and meanings as the Seine in Paris or the Thames in London? What should then be the definition of a river in an Indonesian town? And what could be its possibilities?

What is wood? What is the meaning of steel, concrete or glass in the psychological frame-work of an Indonesian businessman or a becak-driver? What is exactly the use of a bridge or an aquaduct in the eyes of the Indonesian common people?

Sebuah Pernyataan Oscar Niemeyer

Oscar Nemeyer adalah seorang tokoh penting dalam arsitektur modern. Karya-karyanya dapat dikatakan telah memberi citra modern kepada Brasil, negaranya. Berikut adalah pernyataannya tentang arsitektur.

Arquitetura não constitui uma simples questão de engenharia, mas uma manifestação de espírito, da imaginação e da poesia.

“Arsitektur tidak sekadar terdiri dari permasalahan teknis, tetapi sebuah pengejawantahan dari jiwa, imajinasi, dan puisi.”

Oscar Niemeyer (terjemahan Indonesia oleh M.N. Widyarta)

Mies dan Modernisme

Berikut ini adalah sebuah teks oleh Ludwig Mies van der Rohe, dikutip dan diterjemahkan dari “Werner Blaser: Mies van der Rohe,” Verlag für Architektur Artemis Zurich, 2. Auflage: 1973, oleh Prof. Suwondo Bismo Sutedjo. Terjemahan ini didapatkan dari Prof. Suwondo Sutedjo, sewaktu saya bersama Pusat Dokumentasi Arsitektur menemui beliau di rumahnya, pada tahun 2007 (danke schoen, Herr Sutedjo). Teks Mies ini mewakili pandangan dalam arsitektur modern, yang mana obyektifitas dan pengejawantahan semangat jaman dianggap penting dalam berarsitektur. Berikut teks Mies tersebut.

Seni Bangun Masa Kini

Saya mulai berprofesi sekitar 1910. Gerakan-gerakan Jugendstil dan Art Nouveau sudah lewat. Bangunan-bangunan representatif sedikit banyak dipengaruhi oleh Palladio dan Schinkel. Karya-karya besar zaman itu dapat ditemukan di antara bangunan industri dan bangunan teknik murni.

Sebenarnya zaman sedang kacau. Tak ada yang ingin atau mampu menjawab pertanyaan mengenai hakekat Seni Bangun. Barangkali zamannya belum matang untuk sebuah jawaban. Bagaimanapun halnya, saya bertanya dan bertekad menemukan sebuah jawaban.

Baru setelah PD I—tahun-tahun duapuluhan—makin lama makin jelas bagaimana perkembangan teknik mulai mempengaruhi banyak segi kehidupan kita. Kami mengakui Teknik sebagai sebuah kekuatan peradaban yang harus diperhitungkan.

Dalam bidang membangun, Teknik yang yang berkembang menghasilkan bahan-bahan baru dan cara-cara kerja yang lebih praktis, yang sering berlawanan dengan pandangan Seni Bangun yang sedang berlaku. Walaupun demikian saya percaya bahwa dengan cara-cara baru bisa dikembangkan sebuah Seni Bangun.

Saya merasa bahwa seharusnyalah mungkin kekuatan-kekuatan lama dan baru dalam kebudayaan kita serasikan satu sama lain. Tiap bangunan saya adalah sebuah demonstrasi fikiran ini dan sebuah langkah maju dalam proses pencarian saya sendiri menuju kejelasan. Saya makin lama makin yakin bahwa perkembangan ilmiah dan teknik merupakan syarat sebenarnya bagi sebuah Seni Bangun kini. Saya tak pernah kehilangan keyakinan ini.

Sekarang, seperti sejak lama, saya percaya bahwa Seni Bangun tak ada kaitannya dengan penemuan bentuk yang interesting maupun kecenderungan-kecenderungan pribadi. Seni Bangun yang benar selalu obyektif dan merupakan ekspresi pola dalam sebuah zaman saat dan tempat ia tumbuh.

Ludwig Mies van der Rohe